Rabu, 21 Maret 2012

Bangkit Dari Keterpurukan Multidimensi

www.gunadarma.ac.id
Nama : Metha Ardiah
NPM : 24210370
Kelas : 2EB20

Tangis duka dan rintih kesedihan terdengar menyayat hati di berbagai pelosok negeri. Di sana ada banyak balita (bayi berumur di bawah lima tahun) meninggal dunia akibat gizi buruk dan busung lapar. Para penderita demam berdarah dengue terus mengalir membanjiri sejumlah rumah sakit. Banyak orang gagal panen dan kehilangan tempat tinggal akibat diterjang banjir bandang yang tak kenal kompromi.
Sederet panjang pelaku usaha mikro dan pedagang kaki lima goreng- gorengan mendadak berhenti berusaha akibat kenaikan harga minyak goreng. Mungkin, tak lama lagi ada jutaan keluarga harus kembali menyulut lampu teplok dan menumpuk kayu bakar karena tak lagi mampu membayar pajak listrik ketika pada saatnya PLN memberlakukan kebijakan insentif dan disinsentif.
Ketika pada waktu yang sama tingkat kemiskinan masih tetap tinggi dan jumlah pengangguran pun terus bertambah, berikut segala dampak yang ditimbulkannya, fenomena sosial dan ekonomi yang menyedihkan di atas menjadi semakin sempurna. Variabel-variabel itulah yang mengakumulasi untuk kemudian mewujud sebagai keterpurukan dalam kehidupan masyarakat kita. Sebuah keterpurukan struktural yang benar- benar semakin rumit dan memusingkan.
Sementara itu, bangsa ini juga dihadapkan pada sosok elite-elite kekuasaan, baik level nasional maupun lokal, yang perilakunya sama sekali berseberangan dengan kondisi riil dan penderitaan masyarakat. Mereka hidup mewah dan berlimpah fasilitas. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan selain tidak banyak berpihak ke publik, juga sering justru membuahkan malapetaka.
Pemerintah juga lebih banyak menggelar rapat-rapat dan lebih mengurus administrasi kantor ketimbang bertindak kongkret mengatasi masalah-masalah. Tindakan-tindakan yang dilakukan pun serba bersifat ad hoc dan tidak punya desain yang komprehensif untuk menangani masalah-masalah hingga tuntas.
Anggaran negara dan daerah pun lebih banyak dihabiskan untuk mengongkosi kegiatan-kegiatan yang bersifat politik dan rutinitas birokrasi daripada dialokasikan untuk pemberdayaan masyarakat dan merangsang kagairahan ekonomi rakyat.
Pada waktu yang sama korupsi masih tetap merajalela di seluruh lini pemerintahan. Tak heran jika berbagai hasil survei internasional sampai Februari 2008 masih menempatkan Indonesia sebagai negara papan atas dalam "prestasi" korupsi. Salah satu penyebab utamanya adalah lemahnya penegakan hukum.
Perubahan basa-basi
Hulu dari persoalan itu semua adalah ketika sejak awal reformasi di mana perubahan paradigma politik dan kenegaraan yang berhenti hanya di tingkat kelembagaan dan tidak diikuti dengan perubahan di tingkat aktor sehingga kemudian tidak terjadi perubahan perilaku. Kemajuan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat pun menjadi tidak terwujud sebagaimana dibayangkan.
Para aktor yang memainkan peran penting di lembaga-lembaga politik pada umumnya adalah aktor-aktor lama hasil didikan Orde Baru dan sudah sangat berpengalaman dalam menata pola permainan dan tipu muslihat. Celakanya, perubahan kelembagaan politik minus perubahan aktor itu ternyata juga lalai untuk melakukan reformasi birokrasi.
Itulah wujud perubahan basa-basi yang berlangsung selama ini. Dan itu membuat negeri ini tidak pernah serius melakukan segala sesuatu. Indonesia kemudian tetap hadir sebagai bangsa yang setengah- setengah dan panas-panas tahi ayam. Kita pun menjadi bangsa yang tak pernah jelas jati dirinya dalam segala aspek kehidupan.
Dalam hubungan ini, barangkali masih relevan apa yang disebut Fred W Riggs (1985) sebagai masyarakat prismatik (prismatic society) ketika menjelaskan proses transisi negara-negara sedang berkembang. Masyarakat prismatik ditandai oleh tiga gejala utama, yakni heterogenitas, formalisme, dan kehidupan yang tumpang-tindih.
Kondisi itu menggambarkan betapa negeri ini tengah mengalami keterpurukan yang dalam dan multidimensi. Akan tetapi, sebagai bangsa yang masih punya harapan dan memiliki sumber daya yang cukup, Indonesia harus bangkit dari keterpurukan itu. Dan, kita perlu memulainya dari level kepemimpinan.
Sosok pemimpin yang berani selalu mengambil inisiatif-inisiatif untuk melakukan perubahan berikut menyiapkan sejumlah perangkat dan alternatif dalam rangka mencapai tujuan. Inisiatif perubahan akan berjalan dengan baik ketika sang pemimpin juga serius dan konsisten melaksanakan ide-idenya dan bertindak tegas disertai tanggung jawab yang tinggi atas segala konsekuensi dari apa yang dilakukan dan terhadap segala yang terjadi.
Hanya dengan kepemimpinan yang berani, serius, dan tegas baik di tingkat nasional maupun daerah negeri ini akan tertolong untuk bangkit dari keterpurukan multidimensi yang kita hadapi saat ini. Singapura, Malaysia, Venezuela, dan Bolivia sekadar contoh negara yang bangkit dari keterpurukan di mana variabel kepemimpinan yang berani, serius, dan tegas telah memainkan peranan penting.
Pada usia 100 tahun Kebangkitan Nasional saat ini, ada baiknya negeri ini melakukan perenungan yang dalam dan berbesar hati melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi riil bangsa. Namun, perenungan dan evaluasi itu bukan sebatas ritual upacara dan sekadar mengenang jasa para pendahulu dan kehebatan sejarah, melainkan perenungan dan evaluasi untuk membangkitkan kesadaran bersama.
Kesadaran yang kemudian menjadi titik tolak untuk tidak terperosok pada lubang yang sama serta berupaya sungguh-sungguh melepaskan diri dari belenggu keterpurukan. Untuk mengejar kemajuan yang membentang di ufuk fajar masa depan.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/03/18/17193664

Tidak ada komentar:

Posting Komentar